Baru gue sadari, ternyata betapa pencundangnya diri gue ini. Selalu mencoba membohongi diri sendiri dengan alasan yang sebenarnya nggak logis. Gue mencoba untuk menutup hati gue untuk wanita manapun, gue lebih menikmati cinta terhadap diri sendiri. Makanya itu, gue selalu males jatuh cinta. Yap, males jatuh cinta. Sebuah kalimat yang terkesan menggantung dan memiliki makna yang tabu. Kalo ditanya apa maksudnya males jatuh cinta, gue sendiri juga bingung. Hanya saja, dengan kalimat itu lah gue mendeskripsikan apa yang ada di benak gue. Karena "kemalasan" itu, gue jadi susah untuk jatuh cinta. Gue hanya memandang bahwa cinta itu bakal datang dengan sendirinya, nggak perlu gue cari-cari apalagi minta tolong nyariin sama temen,
"Eh, Bro. Cariin gue pacar dong?"
Gue jijik banget sama orang yang kayak gitu, dia cuma mikir cinta itu didapat dengan semudah itu. Empat kata buat orang yang kayak gitu, CEMEN ABIS LU, KAMPRET!
Semua yang gue bilang kalo cinta itu bakal datang dengan sendirinya ternyata bener. Dan kesulitan gue untuk jatuh cinta berubah semenjak gue bertemu dengannya...
***--------***
Usai pulang sekolah, gue dan Dimas makan siang di salah satu warung deket sekolah yang merupakan langganan kami. Pada dasarnya, cita rasa makanannya nggak terlalu enak, bahkan gue udah hafal gimana rasa semua makanan yang ada di warung itu. Kondisi warungnya juga bisa dibilang nggak layak untuk dijadiin tempat makan. Hanya berlapiskan atap bambu dan bagian depan warung yang menghadap ke jalan raya hanya ditutupi dengan baliho salah satu Caleg yang kayaknya udah lama banget. Soalnya, warna balihonya mulai kekuning-kuningan dan bisa aja si Caleg yang mukanya ada disitu udah lupa kalo dia pernah jadi Caleg. Bukan itu aja, keadaan meja dan kursi di warung ini juga cukup memperihatinkan dengan beberapa bolongan disana-sini. Untung aja, harganya yang murah dan warungnya juga menggunakan teknologi "touchscreen", yaitu makanannya bisa langsung diambil tanpa pake sistem order. Dan yang paling enak itu, bisa ngutang. Karena hubungan antara gue dan si pemilik warung udah cukup deket apalagi kalo bukan karena hampir setiap hari gue dan Dimas makan disitu.
"Oalah, Mas. Hari ini jangan ngutang lagi, ya. Baru aja kemarin ngelunasin utang yang belum dibayar ampe sebulan. Pokok'e hari ini jangan sampe ngutang lagi. Kalo nggak besok jangan makan disini lagi, Le." ujar Bu Marni, si Pemilik warung yang tampaknya mulai gusar dengan kebiasaan ngutang gue ini.
Gue cuma tersenyum kecil membalas perkataannya yang sedikit menjengkelkan itu tapi mau gimana lagi, emang itu toh faktanya.
Sebenarnya gue ngutang bukan karena gue nggak dikasi uang jajan sama orang tua, tapi karena gue nge-kost disini. Orang tua gue tinggal di Jogja, awalnya sih mereka juga tinggal di Jakarta, tapi karena tuntutan pekerjaan, mereka harus hijrah ke Daerah Istimewa itu.
Seusai makan, gue dan Dimas masih duduk-duduk di warung sembari menunggu sampe perut nggak kekenyangan lagi. Iseng, gue pinjem HP-nya si Dimas, gue buka BBM, dan gue cek satu per satu isi contactnya. Beberapa lama gue liatin, mata gue terpaku melihat Display Picture salah satu temen contactnya Dimas. Seorang cewek berjilbab, berkulit putih bersih, dan memancarkan senyuman manis yang natural. Gue nggak percaya gitu aja, karena aplikasi edit foto dengan mudahnya didapat di era serba modern gini. Belum sempet gue liat Display Name-nya,
"Sob, gue mau pulang. Sini Handphone gue."
Buru-buru gue langsung close BBM-nya dan langsung balikin handphonenya Dimas. Gue takut entar dia tau terus dia bilangin yang nggak-nggak dan kejadian terdahulu bisa terulang lagi.
"Gue pulang ya. Gue bayarin aja deh makanan lo. Entar nggak boleh makan disini lagi bisa-bisa lo tinggal nama aja minggu depan. Hehe."
"Aahh, yaudah deh."
Dimas emang anak yang sangat amat menjengkelkan, kalo aja bukan karena Dimas suka berbagi kebaikan, gue bisa-bisa ogah temenan sama dia. Inilah keunggulan si Dimas, berkat dukungan ekonomi keluarga dan kedua orang tuanya tinggal di Jakarta, dia bisa ngabisin uang seenak jidatnya aja.
Gue balik sendiri ke pekarangan sekolah dengan wajah cewek tadi yang masih mengitari kepala gue. Apa bener itu foto asli?
"Lo ngapain Vin udah sepi gini masi di sekolah?"
"Iya, gue nemenin Diandra buat nyari buku untuk tugas Sejarahnya dia."
"Ngapain ditemenin? Kan dia bisa sendiri. Percuma aja kita udah 2 taun disini."
"Bukan... Bukan Diandra yang itu, Diandra yang anak baru itu. Masak lo nggak kenal?"
"Ohh..."
Gue udah bingung mau ngomongin apalagi, gue langsung balik badan dan baru aja gue mau angkat kaki,
"Vina, udah ketemu, nih."
Terdengar suara yang begitu merdu menurut gue, padahal nggak lagi nyanyi. Bukan suara yang "cempreng" apalagi terlalu cewek. Suaranya menggambarkan suara wanita yang sederhana. Perlahan gue membalik badan gue kembali. Terlihat sosok cewek yang luar biasa cantiknya. Baru kali ini gue ngeliat cewek yang kayak gini. Bukan. Dia bukan cewek yang ada di contact BBM-nya Dimas, dia lebih cantik, lebih mempesona dan lebih segalanya. Gue langsung nggak kepikiran lagi sama cewek yang ada di BBM Dimas tadi. Bodoamat, gue udah ngeliat bidadari yang sebenarnya. Wajah cantik, kulit putih, berjilbab pula. Perfect!
"Haa, ini Diandra yang gue maksud. Udah kenal belum, lo?"
"Ee.. be-be-belum." Gue berharap banget buat dikenalin.
"Diandra, kenalin nih Rian. Anak kelas XI IPA 3, kelas unggulan. Sebelahan sama kelas lo. Lagian kalo selama seminggu aja lo keliatan pinter disitu, bisa dipindahin ke IPA 3 juga."
"Wah, hebat dong. Pinter nih kayaknya. Gue mesti banyak-banyak belajar sama lo." tandas Diandra.
Pujian dia itu seakan angin sorga buat gue. Waktu seakan berhenti berputar.
"Eehh.. Hehe, iya kenalin gue Rian." Gue menjulurkan tangan gue menawarkan salam.
"Iya, gue Diandra. Maaf ya, lagi jaga wudhu. Jadi nggak bisa salaman."
"Iya, iya nggak apa-apa."
"Vina, Rian, gue ke musholla dulu ya sambil nungguin Ashar. Kalian ikut?"
"Nggak gue mau pulang aja." jawab Vina memotong.
"Iya, gue juga."
"Daah.." Itu kata-kata terakhir Diandra yang ditutup dengan senyuman badainya yang membuat hati gue terhanyut. Subhanallah ini cewek cantiknya.. Gue sampe ngucap berkali-kali. Keliatannya dia soleha, menambah nilai plus untuk dia.
Tinggallah gue dan Vina,
"Gimana? Cantik nggak, Yan? Mau lo?"
"Ahh. Nggak deh. Biasa aja." jawab gue malu-malu.
"Alah lahh.."
"Udah ya, gue pulang dulu."
"Oke."
Gue pulang sambil senyum-senyum sendiri di atas motor. Terkadang senyum gue terhapus dengan lamunan gue.
Gue pernah jatuh cinta sebelumnya, cuma baru kali ini getarannya terasa sampe sekujur tubuh gue.
Apa gue jatuh cinta?
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon memberi komentar dengan sopan dan bijak. Silahkan komentar sepuasnya, selagi gratis!
=)